Harga BBM belum saatnya NAIK

Agung Pratama
KaDept Kebijakan Publik
“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman” (kolam susu) #katanya

            Tanah surga mungkin hanya sebuah khayalan bagi kita sekarang saat ini, tapi tidak bagi The founding father’s. Walaupun tujuan sudah tertera dalam konstitusi, tapi setelah tahu nikmatnya memegang kekuasaan maka kata itu tak lebih dari bualan omong kosong bagi mereka.
            Jadi sangat cocok jika di tambah tulisan “katanya,” permasalahan yang bagai ombak di lautan dan kadang-kadang menjadi badai maupun halilintar membuat negeri ini tak pernah tenang dalam cengkeraman imperialisme dan kapitalisme.
            Dengan alih-alih untuk menghemat biaya anggaran Rp 30 triliun, pemerintah berencana untuk menaikkan BBM. Terlepas dari semua permasalahan yang ada saat ini, bagi penulis rencana kenaikan BBM_lah yang impactnya terasa bagi kalangan menengah ke bawah. Walaupun banyak rencana yang diselaraskan oleh pemerintah untuk mengantisipasi dengan rencana kenaikan BBM, Pemerintah berencana memberikan subsidi langsung, antara lain berupa Bantuan Langsung Tunai, Beasiswa dan lainnnya.


Bagi pemerintah BLT merupakan kunci solusi dari rencana kenaikan BBM, tapi pertanyaan sekarang seberapa efektif kah BLT dan dapat menjaminkah pemerintah dengan kenaikan BBM tidak ada laju inflasi. Penduduk dengan mencapai 237 juta jiwa, (BPS 2010) untuk di data siapa yang benar-benar berhak untuk menerima bantuan langsung tunai akan menimbulkan masalah baru. Maka yang akan terjadi akan terjadi masalah seperti ini “8 Juta Keluarga Miskin tidak Terdaftar di Bantuan Langsung” (metrotvnews).Masalahpun mulai bertaburan dari struktural dan substansial hingga dampaknya ke kultural di antaranya :
#Konstitusi
            Keputusan Mahkamah konstitusi pada tahun 2003, tampaknya hanya hiasan untuk menambah indahnya citra buruk dari pemerintah. Dengan alih-alih bahwa kenaikan BBM di picu oleh pasar ekonomi minyak dunia yang tinggi, jelas ini merupakan bukti bahwa pemerintah telah melanggar dari konstitusi tersebut yang bahwasanya minyak dunia tidak terpengaruh oleh harga minyak dunia (inkonstitusional).
            “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ibarat sayur asem jika tidak di tambah dengan penyedap rasa, maka yang memakannya akan terasa tawar/tidak ada rasa. Begitupun juga dengan konstitusi ini, di anggap tak enak untuk para pencari keuntungan dari sektor tambang.
#Pajak
            Pajak juga menjadi faktor utama dalam menyokong belanja negara terutama sektor pertambangan, hingga tak terhitung ada berapa perusahaan tambang asing yang terus menggerogoti ibu pertiwi. Hasil audit baru-baru ini yang di lakukan oleh lembaga kantor Akuntan Publik Gideon Ikhwan Sofwan. Audit dilakukan demi memenuhi kewajiban yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010 mengenai Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah Yang Diperoleh Dari Industri Ekstraktif. Hasilnya pun cukup mengejutkan bahwa “Penerimaan negara dari sektor mineral dan batu bara ternyata tidak sesuai dengan laporan perusahaan tambang mengenai kewajiban yang seharusnya mereka bayarkan” (Tempo.co).
Perbedaan tersebut mencakup penerimaan pada Pajak Penghasilan Badan, Pajak Bumi dan Bangunan, royalti, serta iuran tetap. Perbedaan ini di bilang cukup wah, karena mengapa perbedaan dalam hal royalti saja mencapai US$ 54 juta belum termasuk dari pajak yang lainnya. Jika pemerintah berani sedikit untuk menekan sektor pajak ini, bukan tidak mungkin penghematan subsidi BBM dengan Rp 30 Triliun ini dapat di tutupi dengan sektor pajak. Walaupun pada akhirnya negeri ini sangat kaya mineral dan batubara, tapi pada realita yang sebenarnya bahwa kita hanya menikmati sedikit dari kekayaan negeri ini dari sisa-sisa rampokan yang tertinggal. Tanah Surga ? #Katanya